https://musyafa.com/category/dakwah/ situs ini menjadi inspirasi dalam tulisan kali ini.
Prolog
Belakangan ini muncul istilah logika dakwah dan logika politik. Lalu muncul pula semacam (sekali lagi: semacam) kaidah yang mengatakan bahwa kita mesti mendahulukan logika dakwah atas logika politik. Sayangnya, dua istilah ini belum mendapatkan hak untuk didalami secara serius. Atau istilah ilmu syar’inya: lam ya’khud haqqahu minat-tahrir, maksudnya, belum mendapatkan hak mendalam untuk diclearkan maksud dan terminologinya. Dan jika istilahnya saja belum diklarifikasi, terlebih lagi yang semacam kaidah tadi.Betapa tidak, bukankah dakwah yang kita gelorakan adalah dakwah yang syumuliyah mutakamilah, di mana politik merupakan bagian yang sangat penting di dalam berdakwah? Dan bukankah pula sedari awal kita sudah dikenalkan dengan apa yang disebut dengan siyasatud-da’wah?? Lalu kenapa mesti dipilah-pilah dan dipisah-pisah lagi.
Ala kulli hal.. tulisan ini tidaklah dimaksudkan untuk mencari klarifikasi atas dua peristilahan itu, namun, tulisan ini dimaksudkan untuk mengangkat satu fakta dalam sejarah Islam, sejarah yang masih sangat terkait erat dengan misi dakwah Rasulullah SAW yang dilanjutkan oleh para sahabatnya, di mana segala gerak gerik, tindak tanduk, sikap, ucapan dana pa saja yang terkait dengan mereka, dalam pandangan Islam, dipandang dan diyakini sebagai Sunnah, ‘alaikum bisunnati wa sunnatil khulafa’ ar-rasyidina min ba’di. Bahkan bukan hanya itu saja, lanjutan hadits ini menyatakan: ‘adh-dhu ‘alaiha bin-nawajidzi.. sebagaimana diriwayatkan dalam hadits shahih.
Peristiwa ini menceritakan tentang sebuah sikap yang sangat luar biasa dari Abu Bakar Ash-Shiddiq (RA), yang sangat keukeuh untuk tetap memberangkankan tentara Usamah bin Zaid ke Syam, meskipun berhadapan dengan “ijtihad” “para pembesar” sahabat nabi radhiyallahu ‘anhum, dengan alasan, bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq (RA) sebagai khalifah (pelanjut), tidak mau membuat policy pertamanya adalah meninggalkan, apalagi merubah, atau mengganti “policy” dari pemimpin sebelumnya, yaitu Rasulullah SAW.
Pembahasan
Pertama: Cerita Tentang Pemberangkatan Pasukan Usamah bin Zain (RA) di Zaman Nabi SAW
Menjelang akhir hayat Rasulullah SAW, dan di saat beliau SAW dalam keadaan sakit berat, beliau menetapkan Usamah bin Zaid (RA) yang baru berumur 17 atau 18 tahun agar membentuk sariyyah, atau ekspedidi pasukan yang tidak dipimpin oleh Rasulullah SAW secara langsung.Beliau SAW pun mendorong kepada para sahabat agar secara sukarela mendaftarkan diri mereka untuk bergabung ke dalam pasukan yang akan dipimpin oleh Usamah bin Zaid (RA) ini.
Pasukan ini, setelah terbentuk nanti, mendapatkan tugas untuk menuju lokasi di mana Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib dan Abdullah bin Rawahah – radhiyallahu ‘anhum – gugur sebagai syuhada’ di sana, yaitu dalam sebuah pertempuran yang dikenal dengan nama Perang Mu’tah.
Lokasi Mu’tah memang cukup jauh dari Madinah, sebab, dalam tatanan negara sekarang, Mu’tah masuk negara Yordan, sangat jauh dari Madinah, dan cukup jauh masuk ke “pedalaman” kekuasaan kekaisaran Romawi, dan mesti melewati banyak sekali suku-suku Arab yang berada di sebelah utara Madinah.
Banyak para sahabat nabi bergabung ke dalam pasukan ini, diantaranya terdapat “pembesar-pembesar sahabat”, seperti: Umar bin Al-Khaththab, Sa’d bin Abi Waqqash, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, Sa’id bin Zaid, dan lain-lain, radhiyallahu ‘anhum.
Pasukan pun terbentuk, maka Rasulullah SAW bersabda kepada Usamah bin Zaid: “Bawalah pasukanmu ke tempat syahidnya orang tuamu, seranglah lokasi itu dengan pasukan berkuda, lakukan serangan di pagi hari di tempat yang bernama Ubna, panaskan mereka, percepat perjalananmu agar ketibaanmu di sana lebih cepat daripada beritanya, lalu, jika Allah SWT memberikan kemenangan kepadamu atas mereka, jangan berlama-lama di sana”.
Melihat bahwa yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW sebagai panglima adalah seorang pemuda belia yang baru berumur 17 atau 18 tahun, beberapa sahabat nabi (tidak banyak, hanya beberapa saja) berkomentar minor terhadap kepemimpinan Usamah. Diantara yang berkomentar itu bernama Ayyasy bin Abi Rabi’ah al-Makhzumi. Komentar Ayyasy ini terdengar oleh Umar bin al-Khaththab (RA), maka Umar (RA) menyampaikannya kepada Rasulullah SAW.
Mendengar komentar seperti itu, Rasulullah SAW bersabda: “Jika kalian mencela kepemimpinan Usamah, maka sungguh kalian dahulu juga mencela kepemimpinan orang tuanya (Zaid bin Haristah [RA]), demi Allah, sungguh, Usamah sangat layak menjadi pemimpin, dan sungguh, Zaid adalah orang yang sangat aku cintai, dan Usamah adalah orang yang sangat aku cintai sepeninggal orang tuanya”. (HR Bukhari [4469] dan Muslim [2426]).
Sebenarnya, “kritik” beberapa sahabat nabi itu didasarkan atas ijtihad mereka, mengingat Usamah dianggap masih terlalu muda untuk membawa pasukan merangsek jauh ke “pedalaman” kawasan musuh, jauh meninggalkan Madinah, dan sama sekali bukan bermaksud menolak kepemimpinan Usamah bin Zaid (RA). Namun, Rasulullah SAW tetap keukeuh untuk menetapkan Usamah bin Zaid sebagai pemimpin pasukan itu, dan tentu mengandung banyak hikmah dan rahasia. Usamah pun kemudian mempersiapkan segala yang diperlukan oleh pasukan itu, dan dia pun menetapkan markas persiapannya di tempat yang bernama Jaraf sedikit keluar dari Madinah.
Setelah semuanya siap, ternyata sakit Rasulullah SAW semakin berat, maka Usamah pun mendatangi Rasulullah SAW dan berkata kepada beliau SAW: “Wahai Rasulullah, engkau semakin melemah, dan saya berharap kepada Allah SWT, semoga Allah SWT memberikan kesembuhan kepada engkau, oleh karena itu, ijinkan saya untuk tetap tinggal dan tidak berangkat, sehingga Allah SWT memberikan kesembuhan kepada engkau, sebab, kalau saya tetap berangkat, sementara engkau dalam keadaan sakit seperti ini, maka saya akan berangkat dengan perasaan terluka dan berduka, padahal saya tidak suka kalau harus selalu bertanya-tanya kepada kafilah-kafilah yang ada tentang perkembangan keadaan engkau”.
Mendengar pernyataan Usamah seperti itu, Rasulullah SAW diam.
Karena Usamah bin Zaid sebagai panglima belum memberangkatkan pasukannya, maka pasukan itu pun tetap bermarkas di Jaraf.
Pada suatu hari Senin di bulan Rabi’ul Awwal, Rasulullah SAW kelihatan agak ringan, maka Usamah pun menemui Rasulullah SAW, dan Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Berangkatlah atas keberkahan Allah SWT”. Aka Usamah keluar dari rumah Rasulullah SAW dan menuju ke Jaraf untuk memberangkatkan pasukannya.
Namun, tiba-tiba, datanglah utusan Ummu Aiman, ibunya Usamah bin Zaid yang memberitahukan kepadanya bahwa Rasulullah SAW telah wafat, maka datanglah Usamah ke tempat Rasulullah SAW dengan ditemani oleh Umar bin al-Khaththab dan Abu Ubaidah (RA) dan benar saja, mereka mendapati Rasulullah SAW telah wafat.
Perlu diketahui bahwa jarak atau masa antara penetapan Usamah bin Zaid sebagai panglima perang dengan wafatnya Rasulullah SAW adalah 16 hari, sebab, anjuran beliau SAW kepada para sahabat untuk bersiap-siap membentuk pasukan terjadi pada hari Senin 25 atau 26 Shafar tahun 11 H, lalu pada hari Selasa nya Rasulullah SAW menetapkan Usamah bin Zaid (RA) sebagai panglima, dan Rasulullah SAW mulai sakit pada hari Rabu akhir bulan Shafar tahun 11 H dan wafat pada hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awwal 11 H.
Jumlah waktu yang hanya belasan hari ini bukanlah waktu yang lama untuk mempersiapkan sebuah pasukan yang akan bergerak ke tempat yang sangat jauh itu, namun, karena sikap sur’atul istijabah para sahabat, pasukan itu telah terbentuk dengan sangat sempurna.
Menurut satu sumber, pasukan yang terbentuk ini terdiri dari 3000 pasukan, lengkap dengan seluruh perlengkapan dan keperluannya, padahal saat itu, keadaan ekonomi para sahabat nabi sedang tidak bagus, dan semua pasukan yang bergabung ini, adalah atas kerelaan dan kemauan mereka sendiri, Rasulullah SAW hanya mendorong dan memotivasi saja. Perbekalan dan perlengkapan perang mereka pun, baik yang bersifat kolektif maupun perseorangan, juga dari sumbangan mereka.
No comments:
Post a Comment
Kritik dan saran yang membangun, monggo.. bisa ditulis di kolom komentar.. :)