Perjalanan dakwahku. Awal mula saya
mengenal dakwah adalah waktu saya di usia 17tahun. Tepat di malam usia saya ke 17, ada sebuah sms masuk. Dari seorang Guru
KKPI (computer), seorang guru laki-laki yang bernama **********, yang beliau terkenal gokil di sekolah SMK. Dalam sms tersebut, beliau meminta saya untuk gabung di ROHIS. Sama seperti dakwah
fardhiah yang kukenal sekarang di kampus, ada sebuah
“iming-iming” agar mau masuk dalam dakwah. Beliau mengiming-imingi adanya
beasiswa perguruan tinggi. Waktu itu saya tidak tertarik dengan beasiswanya, saya
lebih tertarik ROHISnya. Karen sudah menjadi ekinginan sejak dulu, namun tidak
kunjung bisa masuk karena alasan waktu, main, dan salah satunya ajakan masuk
ROHIS yang kurang menarik waktu itu. Tapi semenjak sms tersebut, saya merasa
dispesialkan.
Lantas menjadi bersemangat luarbiasa menyambut seruan tersebut. Di sini kita
belajar pula, dakwah fardhiah bukan hanya sekedar mengajak, akan tetapi perlu
adanya strategi.
Hari Rabu, kumpul pertama dalam
sebuah organisasi dakwah. Belum paham apa itu liqo’, materi pertama dalam liqo’
klasikal, adalah penyambutan kehadiran saya. Dengan diperkenalkan segelintir
kaka kelas dan adik kelas, dan pemberian majalah pertama. Luar biasa apa yang
kurasa, ruangannya sempit, panas, tapi di hati dingin ayem.
Pekan selanjutnya, saya
langsung diangkat sebagai sekretaris oleh beliau, guru yang menyebut dirinya
waktu itu sebagai Murabbi. Dan pekan ke 2 di ROHIS, diangkat kembali dan
menjadi ketua 2 di ROHIS. Saya selalu datang ke ROHIS dan tidak pernah ijin.
Selepas saya masuk, semua instruksi Murabbi ada di saya. Dan dimulai sejak itu,
banyak kaka kelas keluar dari ROHIS dan menyisakan 1 kaka yang beliau akhirnya
diterima di perguruan tinggi swasta dengan biaya gratis. Semua itu kuncinya
adalah Ketaatan, Ketsiqahan, dan semangat dalam setiap agenda di ROHIS. Dan ada
satu lagi hal yang harus dihindari oleh saya dan teman-teman, yang menggagalkan
orang kebanyakan, yaitu komunikasi dan berhubungan dengan lawan jenis. Hal
tersebut menjadi sebuah pantangan dalam diri saya dan teman-teman.
Sejak saat itu saya juga
berhasil mengajak 5 teman saya untuk gabung di ROHIS. Tapi 1 orang keluar
hampir mendekati akhir sekolah dengan ijin untuk pacaran. Di kelas 3, prinsip
ketaatan dan ketsiqahan senantiasa disampaikan Murabbi saya. Sekecil apapun
perintahnya, yang penting laksanakan. Dan prinsip untuk tidak ijin dalam liqo’
kecuali 2 alasan: yang pertama kamu sakit sampai tidak bisa jalan, yang ke
dua ada keluarga dekatmu yang meninggal atau kamu sendiri yang meninggal. Prinsip
tersebut saya pegang sampai sekarang.
Perjalananku di ROHIS sebagai
pengurus sudah selesai. Lulus dan diterima di IAIN ******** dengan beasiswa.
Dan masa-masa menunggu masuk kuliah selama 3bulan, saya ditawari mengajar di
sebuah TKIT di ********** atas permintaan Murabbi saya yang pertama. Dan liqo’
dengan Murabbi pertama dipindah kepada Murabbi ke dua. Beliau alumni IAIN ********
juga. Namanya Bu ******, panggilannya bu ****.
Dalam perjalanan liqo’ dengan
beliau, saya senantiasa berangkat dan tidak pernah ijin. Kecuali waktu itu
bertepatan di hari regristasi ulang di IAIN *********, saya bertanya kepada
Murabbi saya ke-dua-duanya untuk ikut agenda sosialisasi KAMMI. Tapi ternyata
waktu itu ditunggu sampai jam 2, tidak kunjung jelas agendanya. Murabbi berkata
wajib ikut agenda ini. Akhirnya konfirmasi ke yang menjarkom, agendanya
ditunda. Dan saya memilih untuk segera pulang karena liqo’ dengan Bu ****
dimulai jam setengah 2. Tapi di tengah perjalanan sampai di Si**, ternyata bus
yang arah ******** sudah habis. Dan mencari ojek tidak ada. Menangis saja waktu
itu, tidak bisa ikut liqo’. Akhirnya jalan, berharap ada orang mengasihi untuk
memboncengkan. Betul, ada, ummahat yang berslayer serasi dengan jilbab lebarnya,
emnawarkan untuk saya diboncengkan. Namun ketika saya bilang ke *********,
beliau mengurungkan, dan meminta saya untuk menginap di rumah beliau. Akhirnya
saya menginap, dan keesokan hari pulang, setelah itu langsung menuju rumah Bu ****
untuk meminta maaf karena kemarin tidak bisa ikut liqo’.
Di tengah-tengah penantian
menanti masuk kuliah, sebelumnya saya ikut sebuah agenda ROHIS Boyolali, yaitu
Aksi Peduli Palestin. Dan di sana ada seorang Pembina dari SMK N *********,
bernama Ustadz I***********. Beliau sangat disenangi anak-anak ROHIS di sana.
Dan kemudian ada briefing di akhir. Ternyata ada pembentukan struktur alumni,
saya dijadikan sebagai ketua 2, dan ketua 1 adalah Ustadz Y**** yang sekarang
beliau juga koordinator asrama di Yayasan pemberi beasiswa saya. Di akhir, Ustadz
I*********, memberikan pesan untuk saya dan salah satu teman saya (yang khusus
di IAIN), untuk nanti menghubungi Ustadzah H********. Saya bingung, beliau
mengatakan nanti liqo’ sama Ustadzah ini. Bingung, karena kalau berbeda dengan
yang dumaksud Murabbi saya sebelumnya bagaimana? Murabbi sebelumnya ternyata
mentransfer liqo saya di kampus.
Setelah masuk ke perguruan
tinggi, saya menunggu selama 3pekan lebih untuk dikasih tau Murabbi saya
selanjutnya siapa. Gemas, ebrcampur kepo, pingin segera liqo’. Akhirnya pada
suatu hari, saya dengar kabar bahwa teman saya ada yang liqo’ dengan Mbak yang
pernah disebutkan nmanya oleh Ustadz I********. Saya jadi teringat pesan ustadz
tersebut waktu syur’ ba’da acara aksi peduli Palestine waktu itu. Kemudian saya
coba hubungi Murabbi saya sebelumnya, bertanya awalnya kapan saya bisa liqo’
lagi. Beliau Cuma menjawab sabar. Akhirnya kuberanikan diri tanya, kalau saya
coba hubungi Mbk yang namanya “ini” bagaimana, akhirnya beliau mengatakan Mbak tersebut
memang Murabbi saya saat itu, dan tidak menyangka ternyata saling tersambung
satu sama lain. Beliau murabbi saya hingga sekarang.
Senang, dan bahagia rasanya.
Sudah tahu liqo’nya dengan siapa, dan disatukan dengan teman-teman yang juga
memiliki komitmen luarbiasa terhadap liqo’. Semua kata yang keluar dari Murabbi
saya yang ke tiga adalah berasa hikmah, nasihat, dan semangat. Inilah yang
membuat saya semakin mantap dalam mengarungi perjalanan dakwah ini. Yang juga
Tarbiyah atau simpelnya liqo’ menjadi sebuah energi tersendiri bagi saya sampai
detik ini.
Sejak lulus dari SMK, flashback
sedikit, saya menjadi memiliki cita-cita. Awalnya saya masih bingung mau
memiliki cita-cita apa. Dan sejak itu, saya memiliki cita-cita sebagai Pembina
ROHIS, sebagai Murabbi dan Mutarabbi hingga akhir hayat. Dan ekinginan menjadi
Murabbi, sudah ada sejak hampir lulus dari SMK. Dan akhirnya, ada sebuah
kesempatan bagi saya, di Mentoring Fakultas saat itu untuk menjadi Mentor atau Murabbi.
Dan semakin bersemangat ketika baru awal semester 1 ketika saya ada di asrama
Penerima Beasiswa, saya langsung diminta menjadi seorang Musyrifah untuk asrama
adik-adik penerima beasiswa tingkat SMK. Di mana di antara teman-teman saya,
baru saya yang diminta menjadi Musyrifah saat itu. Dan dari ROHIS juga meminta
saya untuk bisa membina adik-adik ROHIS. Tentu hal tersebut menjadi sarana saya
dalam belajar dengan serius untuk membina orang lain. Saya menikmati itu semua.
Pahit manisnya, semua harus diajalankan dengan penuh sikap menikmati. Dan
Murabbi saya, selalu membuat saya kalem ketika ada masalah dalam proses
pembinaan. Terutama di asrama. Beliau di setiap saya curhat, beliau mengatakan
“tidak usah diambil pusing”, dan inilah yang menjadikan kekuatan bagi saya
untuk tetap bisa menyelesaikan masalah-masalah namun ebrusaha tetap tenang
dalam apapun masalah yang ada.
Karena semester 5 ini saya
sulit untuk pulang di akhir pekan, liqo’ ROHIS saya lepas. Namun masih tetap
memantau adik-adik. Dan di awal Nopember 2016, saya diminta menjadi Murabbi di
LDK. Sebuah amanah yang jujur saya ingin merasakannya sejak lama, dan saya
tunggu. Saya dihadapkan dengan beberapa mad’u yang ada sebagian memiliki
komitmen besar terhadap liqo’, namun ada juga yang masih menagnggap liqo’
sebagai sampingan saja. Hanya berharap, agar ALLOH memberikan saya kemampuan
dalam membina dengan baik. Menjadikan mad’u-mad’u saya menjadi komitmen
terhadap kegiatan tarbiyahnya. Menikmati semua prosesnya.
Di dalam asrama, anak-anak yang
saya bina mereka sekarang tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang menjaga, dan
memiliki komitmen dalam kegiatan SR(Smart Recharge)nya di sekolah (SMK IT **).
In syaa ALLOH. Menikmati semua prosesnya.
Orangtua saya, awalnya sejak
saya lulus dari SMK, mereka tidak ada yang mendukung kegiatan saya dalam dakwah
ini. Dulu setelah lulus dari SMK, saya bahkan masih sangat aktif di ROHIS. Dan
di perguruan tinggi juga sudah mulai jarang menjenguk orangtua. Ke-empat orang
tua saya semua tidak mendukung kegiatan-kegiatan saya dalam dakwah. Suatu hari
pernah, saya diminta lepas jilbab, kemudian motor digembesi karena sering pergi
ke ROHIS, dan stiker-stiker serta gambar-gambar tentang ROHIS, LDK, dan KAMMI,
yang saya gambar semua dilepas dari dinding oleh bapak saya sewaktu beliau
datang ke rumah saya.
Sorenya ada liqo’, dan oleh
bulik saya, diminta motornya segera diisi angin ke bengkel dan diminta untuk
segera pergi ke tempat liqo’. Bulik tidak paham apa itu liqo’, tapi semenjak
liqo’ memang bulik sering saya ajak diskusi dengan bahasa lain, dan beliau
mendukung. Paklik juga begitu. Tinggal waktu itu saya meyakinkan ke-empat
orangtua saya agar ridho dalam aktivitas-aktivitas dakwah saya.
Akhirnyapun malam itu, di
kampus, ba’da maghrib, saya meminta Murabbi saya untuk ketemuan. Karena waktu itu
saya dapat sms dari bapak kandung saya dan beliau marah-marah karena saya
dirasa sudah lupa dengan beliau. Akhirnya saya semakin takut untuk pulang. Dan
Murabbi waktu itu memberi nasihat, bahkan sebuah perintah untuk besuk harinya
saya pulang ke rumah dan menemui bapak. Saya jalankan, dan pesan dari Murabbi
adalah “bapak itu aslinya kangen, sayang, tapi tidak tau abgaimana cara
menyampaikannya.”
Sejak saat itu, saya sudah
tidak lagi mendapat marahan dari bapak. Sejak saat itu saya sering menemui
beliau waktu saya pulang kampung dari Solo. Dan mulai membiasakan tidur di
rumah beliau. Namun ibu tiri belum terlalu terbuka hatinya, akhirnya ketika
pulang, terkadang saya beri beliau oleh-oleh. Dan sejak saat itu hubungan
dengan mereka menjadi hangat. Dan bahkan sekarang beliau-beliau sangat
mendukung kegiatan-kegiatan saya. Saya sering mengajak diskusi, dan curhat
terkait masalah-masalah saya. alhamduliLLAAH.. sangat ridho sekarang.
Meski dari bapak kandung dan
ibu tiri sudah ridho, ternyata ibu kandung saya belum sepenuhnya. Masih
memepermasalahkan apa yang menjadi prinsip saya. Akhirnya saya coba sering
komunikasi dengan beliau, diskusi online (karena ibu kandung dan bapak tiri ada
di Bekasi). Dan mengungkapkan semua apa yang saya rasakan ketika ibu bersikap
demikian. Dan saya juga memberikan beberapa kado buat beliau. Dan sekarang
beliau juga sangat mendukung dengan kegiatan dakwah saya. Sangat hangat, dan
menenangkan ketika semua sudah ridho. Meski memang harus melalui proses yang
cukup lama.
Sejak saat itu, saya
betul-betul merasakan kasih sayang luarbiasa sekalipun dari keluarga yang
broken home. Tidak masalah. Dan ternyata semua benar, berawal dari
nasihat-nasihat para Murabbi saya. Murabbi saya pertama mengatakan untuk tidak henti-hentinya
mendo’akan agar hati bapak ibu dilembutkan. Dan Murabbi ke dua saya mengatakan
belajar rasa sabar dan kuat dalam menjalani hubungan dengan orang lain,
termasuk bapak ibu yang awalnya seperti orang lain bagi saya. Dan kemudian diri
saya dikuatkan oleh Murabbi saya yang sekarang, sering beliau mengatakan “bahwa
kita didewasakan dengan masalah dan amanah.”
No comments:
Post a Comment
Kritik dan saran yang membangun, monggo.. bisa ditulis di kolom komentar.. :)